
Makanan Khas Kota Sragen
Sragen, selain kaya akan prestasi ternyata juga kaya akan makanan tradisional. Salah satunya adalah makanan khas yang diproduksi oleh Mbah Sumo Diharjo yang lebih akrab dipanggil Mbah Rajak. Sudah 40 tahun mbah Rajak berjualan aneka macam makanan tradisional, antara lain: Jenang, trasikan, wajik, jadah, dan aneka lauk pauk.
Karena banyaknya pembeli, selain berjualan di pasar Bunder, mbah Rajak juga melayani pembeli yang langsung datang dirumah. Banyak sekali pembeli yang sudah menjadi langganannya karena itu setiap hari warung mbah Rajak di pasar tidak pernah sepi oleh pembeli. Mulai pagi sampai sore makanannya selalu diserbu pembeli dan jarang sekali makanan tersebut sampai sisa. Bahkan tidak jarang pembeli yang datang berasal dari luar daerah dan menjadikan makanan khas Sragen buatan mbah Rajak ini sebagai oleh-oleh.
Dari hasil penjualan dagangannya setiap harinya mbah Rajak mendapat penghasilan sekitar Rp. 4 juta. Jenang buatannya dijual Rp 20.000 per kilo, sedangkan trasikan dan wajik dijualnya Rp 25.000 per kotaknya. Selain di jual kiloan, racikan makanan tersebut juga dapat dibeli sesuai dengan harga yang diinginkan.
Mbah Rajak mengawali usahanya sebagai pedagang jenang sekitar tahun 1968. “ Dahulu saya hanya seorang pedagang jenang keliling di daerah Sragen, karena belum memiliki tempat tinggal menetap.” Ceritanya. “ Saya sempat dua kali menyewa sebuah rumah tinggal untuk mengembangkan usaha, “ tambahnya. Karena usahanya makin berkembang akhirnya mbah Rajak mampu memiliki rumah sendiri di Jl. Kampar No. 7 Cantel Wetan, Kelurahan Sragen Tengah. Tidak hanya itu saja, sekarang mbah Rajak sudah memiliki tiga rumah yang tinggali ketiga anaknya.
Ditambahkan sejak suaminya meninggal, mbah Rajak menjadi tulang punggung keluarga, dan dengan kerja keras serta pantang menyerah akhirnya ia mampu menyekolahkan anaknya sampai kejenjang perguruan tinggi bahkan sekarang anaknya sudah lulus menjadi sarjana hukum.
Tentunya dari semuanya itu diperlukan suatu usaha yang gigih, dan keuletan dalam mengembangkan usahanya. Berawal dari usaha yang dikelolanya sendiri, sekarang mbah Rajak sudah memiliki 10 orang pekerja. Setiap hari usaha pembuatan jajanan mbah Rajak mampu menghabiskan bahan baku berupa beras ketan sebanyak 40 kg.
Sekalipun mbah Rajak sudah memiliki tujuh cucu dan tujuh buyut, ini tidak menyurutkan semangatnya dalam bekerja. Dan sekarang makanan yang diproduksi mbah Rajak sudah menjadi makanan khas Sragen yang banyak diminati semua kalangan masyarakat karena selain rasanya enak dan lezat , juga khas dilidah, harganya juga terjangkau.
Nah, bagi anda yang tertarik dengan jajanan mbah rajak, silahkan datang kerumahnya di Jl. Kampar No. 7, RT 03 RW XI Cantel Wetan, Sragen Tengah, atau di pasar Bunder pintu sebelah utara.
![]() |
Add caption |
Selain itu Kota Sragen juga ada makanan khas lainya yaitu Soto Girin. Pagi itu, sekitar pukul tiga pagi, Sugimo (55) bersama istrinya Sujiah (53) nampak sudah terlihat sibuk meracik bumbu di dapurnya yang terbilang tidak begitu luas. Di dapur tersebut Gimo dan istrinya meracik dan memasak soto dengan menggunakan tungku yang berbahan bakar kayu bakar. Telah menjadi kebiasaan mereka bangun di pagi buta untuk memasak soto. Pasalnya, setiap hari mulai jam 6 pagi soto daging olahannya harus sudah siap saji karena telah ditunggu oleh banyak pelangganya di warung Soto Daging sapi miliknya. Soto Gimo Girin, begitu ia memberi nama warung sotonya itu. Embel-embel nama Girin merupakan trade mark baginya, yang menunjukkan bahwa ia salah satu pewaris Soto Girin yang pernah dikelola oleh ayahnya yang bernama Mbah Girin.
WARISAN ORANG TUANYA
Gimo memperoleh resep meracik soto belajar dari orang tuanya sendiri mbah Girin namanya, sang empunya warung Soto Girin. Bagi warga Sragen nama Soto Girin sudah tidak asing bahkan sudah menjadi legenda dan salah satu icon wisata kuliner di Kabupaten Sragen. Mbah Girin mulai merintis membuka warung soto sejak tahun 1954 silam. Kurang lebih 32 tahun Mbah Girin mengelola warung soto miliknya, hingga tahun 1984. Sejak dulu, warung soto Girin ini tak pernah sepi dari pelanggan.
Sejak anak-anaknya masih kecil, Mbah Girin sudah mengajari anak-anaknya bagaimana cara memasak soto yang nikmat. Alhasil, semua anak-anaknya yang berjumlah empat orang, memilih jalan hidup yang sama dengan Mbah Girin yakni menjadi penjual Soto yang sukses. Salah satu anaknya bernama Gimo yang kini mempunyai warung soto sendiri yang bernama Soto Gimo Girin.
Ibarat buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, Gimo Girin muda kala itu sekitar awal tahun tujuh puluhan, punya keinginan kuat untuk mendirikan sebuah usaha sendiri layaknya usaha milik ayahandanya. Keinginannya terwujud pada tahun 1975. Meski semula hanya berdiri diemperan sebuah toko, tidak masalah baginya, yang penting warung soto yang menjadi cita-citanya telah terwujud. “Pernah usaha saya di bongkar karena emperan tokonya mau dibangun, kemudian saya beralih tempat tidak jauh dari tempat semula” kenangnya pada masa-masa sulit yang pernah ia lalui saat merintis usaha miliknya.
Pada tahun 1986, usahanya telah menampakkan hasil, sehingga ia bisa membeli sebuah rumah yang terletak cukup strategis, tidak jauh dari tempat pertama ia mendirikan usaha. Rumah sederhana yang yang beralamat di Ringin Anom RT 01 / 17 Sragen, kemudian disulap menjadi sebuah warung soto daging sapi. “Sejak menempati kios permanen tersebut usaha soto saya mulai meningkat pesat hingga sedikit demi sedikit saya bisa memperbaiki bangunannya” akunya. Bintang keberuntungan benar-benar berpihak kepadanya. Setiap hari, pelanggannya tak pernah sepi, bahkan meningkat. Dagangan soto miliknya setiap hari pasti terjual habis. “Dagangan soto saya tak pernah sisa, pasti habis setiap harinya, pada suatu waktu saya pernah menambah jumlah stok dagangan dan ternyata habis juga, namun bila stoknya kami tambah terus, tenaga kami kewalahan, ” terangnya.
BANYAK PELANGAN DARI KALANGAN PEJABAT
Pelanggan yang datang di warung sotonya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari tukang becak hingga Pejabat Departemen Pusat Jakarta. ”Banyak juga mas, pejabat dari Jakarta yang datang kesini, semula saya tidak tahu kalau dia pejabat, namun setelah dua kali, tiga kali datang akhirnya saya tahu kalau yang jajan tersebut adalah Pejabat dari Pusat. Misalnya saja pak Wiyono (Drs. Wiyono Msi, Kepala Bidang Diklat dan Kependudukan Departemen Dalam Negeri )” terangnya.
Selain orang Sragen, banyak juga pelanggannya yang berasal dari luar daerah Sragen. Banyak orang-orang Solo yang datang kesana, selain hanya sekedar mampir jajan, sebagian ada yang mengkhususkan datang hanya untuk jajan soto buatan Gimo Girin.
Meski warungnya terbilang sempit kurang lebih berukuran delapan kali enam meter, tak disangka bisa menampung lebih dari lima puluh orang. Bapak empat anak ini mengaku sering kedatangan tamu rombongan bis wisata yang berjumlah kurang lebih lima puluh sampai seratus orang, yang mampir kesini untuk jajan soto. Namun, biasanya sehari sebelumnya mereka memesan terlebih dahulu lewat telepon.
Bahkan tidak sedikit yang telah menjadi pelanggan di warungnya sejak masih berusia anak-anak. Seperti yang diungkapkan Ny. Wasis (35), seorang PNS di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sragen yang ditemui saat sedang menyantap soto di warung soto Gimo Girin, “ Keluarga saya hampir semuanya pelanggan warung soto sini, termasuk kakek-nenek saya, jadi sejak kecil saya sudah sering jajan disini”.
Sementara pengakuan pelanggan lainnya, Ina Nugroho (42), sejak ia pindah ke Sragen tahun 1989 silam ia langsung terpikat dengan soto masakan Gimo. Sebelumnya ia sering berpindah-pindah warung langganan. Sejak menemukan warung Gimo Girin Instruktur senam tersebut enggan menyantap soto di tempat lainnya.
CEPAT HABIS
Setiap harinya, warung Soto Girin mulai buka sekitar jam enam pagi. Sejak jam enam pagi itu pula pelanggan sudah mulai datang untuk sarapan soto. Tidak sampai siang, sekitar jam sepuluh atau paling siang jam sebelas, sotonya pasti telah habis. Bisa dipastikan bila datang kesini lebih dari jam sebelas, tidak akan kebagian soto sedap racikan Pak Gimo. ”Kadang jam sepuluh paling lambat jam sebelas, soto daging sapi racikan saya telah terjual habis” tegasnya. Setiap harinya ia sengaja tidak menambah jumlah porsi soto dagangannya. ”Capek mas, saya menjual sesuai kemampuan tenaga saya saja, kalau nanti menambah jumlah porsi, saya kawatir tenaga saya dan istri saya akan terforsir,”ungkapnya.
MENJAGA CITA RASA
Semua bumbu yang digunakan untuk memasak soto ia kerjakan sendiri, bukan orang lain termasuk istrinya sendiri. ”Kalau yang mengerjakan orang lain nanti rasanya pasti berbeda” ungkapnya. Ia mengaku tidak ada yang berbeda dengan bumbu-bumbu soto lainnya, namun ia punya kiat khusus yakni takaran bahan-bahan yang digunakan untuk bumbu diusahakan tepat. Bumbu-bumbu yang ia gunakan pun hanya berasal dari bumbu-bumbu tradisional, jadi lebih aman dan sehat untuk dikonsumsi.
BUKA MALAM HARI
Setelah kiosnya tutup sekitar jam sebelas siang. Biasanya ia menyempatkan diri untuk istirahat sejenak. Selepas istirahat siang, tangannya seakan tak pernah lelah, kembali ia mulai meracik bumbu soto. Karena sejak awal tahun 2008 ini, Soto Gimo Girin membuka warung soto di Pusat Jajan Malam Hari (Pujamari ) yang terletak di halaman Galery Batik Sukowati. Pelanggan yang tidak bisa menikmati sedapnya soto di pagi hari, pada malam hari dapat menjumpainya di Pujamari sekitar jam lima sore hari hingga jam sembilan malam.
kapan-kapan ajakin dong ke sragen .. hehehe :p
BalasHapus